Cari Blog Ini

Koleksi Terbaru Kami

FILSAFAT " Perbedaan Ilmu Dan Pengetahuan "



BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
            Salah satu ciri khas manusia adalah sifatnya yang selalu ingin tahu tentang sesuatu hal. Rasa ingin tahu ini tidak terbatas yang ada pada dirinya, juga ingin tahu tentang lingkungan sekitar, bahkan sekarang ini rasa ingin tahu berkembang ke arah dunia luar. Rasa ingin tahu ini tidak dibatasi oleh peradaban. Semua umat manusia di dunia ini punya rasa ingin tahu walaupun variasinya berbeda-beda. Orang yang tinggal di tempat peradaban yang masih terbelakang, punya rasa ingin yang berbeda dibandingkan dengan orang yang tinggal di tempat yang sudah maju.
            Rasa ingin tahu tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam sekitarnya dapat bersifat sederhana dan juga dapat bersifat kompleks. Rasa ingin tahu yang bersifat sederhana didasari dengan rasa ingin tahu tentang apa (ontologi), sedangkan rasa ingin tahu yang bersifat kompleks meliputi bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi dan mengapa peristiwa itu terjadi (epistemologi), serta untuk apa peristiwa tersebut dipelajari (aksiologi).
            Ke tiga landasan tadi yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi merupakan ciri spesifik dalam penyusunan pengetahuan. Ketiga landasan ini saling terkait satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Berbagai usaha orang untuk dapat mencapai atau memecahkan peristiwa yang terjadi di alam atau lingkungan sekitarnya. Bila usaha tersebut berhasil dicapai, maka diperoleh apa yang kita katakan sebagai ketahuan atau pengetahuan.
            Awalnya bangsa Yunani dan bangsa lain di dunia beranggapan bahwa semua kejadian di alam ini dipengaruhi oleh para Dewa. Karenanya para Dewa harus dihormati dan sekaligus ditakuti kemudian disembah. Adanya perkembangan jaman, maka dalam beberapa hal pola pikir tergantung pada Dewa berubah menjadi pola pikir berdasarkan rasio. Kejadian alam, seperti gerhana tidak lagi dianggap sebagai bulan dimakan Kala Rau, tetapi merupakan kejadian alam yang disebabkan oleh matahari, bulan dan bumi berada pada garis yang sejajar. Sehingga bayang-bayang bulan menimpa sebagian permukaan bumi.
            Perubahan pola pikir dari mitosentris ke logosentris membawa implikasi yang sangat besar. Alam dengan segala-galanya, yang selama ini ditakuti kemudian didekati dan bahkan dieksploitasi. Perubahan yang mendasar adalah ditemukannya hukum-hukum alam dan teori-teori ilmiah yang menjelaskan perubahan yang terjadi, baik di jagat raya (makrokosmos) maupun alam manusia (mikrokosmos). Melalui pendekatan logosentris ini muncullah berbagai pengetahuan yang sangat berguna bagi umat manusia maupun alam.
            Pengetahuan tersebut merupakan hasil dari proses kehidupan manusia menjadi tahu. Pengetahuan adalah apa yang diketahui oleh manusia atau hasil pekerjaan manusia menjadi tahu. Pengetahuan itu merupakan milik atau isi pikiran manusia yang merupakan hasil dari proses usaha manusia untuk tahu.
            Berdasarkan atas pengertian yang ada dan berdasarkan atas kebiasaan yang terjadi, sering ditemukan kerancuan antara pengertian ilmu dengan pengetahuan. Ke dua kata tersebut dianggap memiliki persamaan arti, bahkan ilmu dan pengetahuan terkadang dirangkum menjadi satu kata majemuk yang mengandung arti tersendiri. Hal ini sering kita jumpai dalam berbagai karangan yang membicarakan tentang ilmu pengetahuan. Bahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ilmu disamakan dengan pengetahuan, sehingga ilmu adalah pengetahuan. Namun jika kata pengetahuan dan kata ilmu tidak dirangkum menjadi satu kata majemuk atau berdiri sendiri, akan tampak perbedaan antara keduanya. Berdasarkan asal katanya, pengetahuan diambil dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge. Sedangkan pengetahuan berasal dari kata Science. Tentunya dari dua asal kata itu mempunyai makna yang berbeda.
  1. Rumusan Masalah
1.      Apakah ada perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan?
2.      Bagaimana perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan ?
  1. Tujuan dan Manfaat
            Melalui karya tulis ini diharapkan nantinya bisa mengungkapkan secara detail perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan, sehingga bisa membuat suatu katagori antara ilmu dengan pengetahuan. Diharapkan nantinya hasil dari proses tahu tersebut akan dapat diputuskan termasuk dalam katagori ilmu atau pengetahuan.

BAB II
PEMBAHASAN
  1. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
            Pada awalnya yang pertama muncul adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus merupakan bagian dari filsafat. Sehingga dikatakan bahwa filsafat merupakan induk atau ibu dari semua ilmu (mater scientiarum). Karena objek material filsafat bersifat umum yaitu seluruh kenyataan, padahal ilmu-ilmu membutuhkan objek khusus. Hal ini menyebabkan berpisahnya ilmu dari filsafat.
            Meskipun pada perkembangannya masing-masing ilmu memisahkan diri dari filsafat, ini tidak berarti hubungan filsafat dengan ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Dengan ciri kekhususan yang dimiliki setiap ilmu, hal ini menimbulkan batas-batas yang tegas di antara masing-masing ilmu. Dengan kata lain tidak ada bidang pengetahuan yang menjadi penghubung ilmu-ilmu yang terpisah. Di sinilah filsafat berusaha untuk menyatu padukan masing-masing ilmu. Tugas filsafat adalah mengatasi spesialisasi dan merumuskan suatu pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusian yang luas.
            Ada hubungan timbal balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak masalah filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah apabila pembahasannya tidak ingin dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan yang berupa fakta-fakta yang sangat penting bagi perkembangan ide-ide filsafati yang tepat sehingga sejalan dengan pengetahuan ilmiah (Siswomihardjo, 2003).
            Dalam perkembangan berikutnya, filsafat tidak saja dipandang sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah merupakan bagian dari ilmu itu sendiri, yang juga mengalami spesialisasi. Dalam taraf peralihan ini filsafat tidak mencakup keseluruhan, tetapi sudah menjadi sektoral. Contohnya filsafat agama, filsafat hukum, dan filsafat ilmu adalah bagian dari perkembangan filsafat yang sudah menjadi sektoral dan terkotak dalam satu bidang tertentu. Dalam konteks inilah kemudian ilmu sebagai kajian filsafat sangat relevan untuk dikaji dan didalami (Bakhtiar, 2005).
  1. Definisi Ilmu Pengetahuan
            Membicarakan masalah ilmu pengetahuan beserta definisinya ternyata tidak semudah dengan yang diperkirakan. Adanya berbagai definisi tentang ilmu pengetahuan ternyata belum dapat menolong untuk memahami hakikat ilmu pengetahuan itu. Sekarang orang lebih berkepentingan dengan mengadakan penggolongan (klasifikasi) sehingga garis demarkasi antara (cabang) ilmu yang satu dengan yang lainnya menjadi lebih diperhatikan.
            Pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus Bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu (Admojo, 1998). Mulyadhi Kartanegara mengatakan ilmu adalah any organized knowledge. Ilmu dan sains menurutnya tidak berbeda, terutama sebelum abad ke-19, tetapi setelah itu sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau inderawi, sedangkan ilmu melampauinya pada bidang-bidang non fisik, seperti metafisika.
            Adapun beberapa definisi ilmu menurut para ahli seperti yang dikutip oleh Bakhtiar tahun 2005 diantaranya adalah :
            Mohamad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.
            Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan ke empatnya serentak. Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.       Ashley Montagu, menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.             Harsojo menerangkan bahwa ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan dan suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia. Lebih lanjut ilmu didefinisikan sebagai suatu cara menganalisis yang mengijinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk : “ jika .... maka “.
            Afanasyef, menyatakan ilmu adalah manusia tentang alam, masyarakat dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, katagori dan hukum-hukum, yang ketetapannya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.
            Berdasarkan definisi di atas terlihat jelas ada hal prinsip yang berbeda antara ilmu dengan pengetahuan. Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai matafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error dan berdasarkan pengalaman belaka (Supriyanto, 2003).
            Pembuktian kebenaran pengetahuan berdasarkan penalaran akal atau rasional atau menggunakan logika deduktif. Premis dan proposisi sebelumnya menjadi acuan berpikir rasionalisme. Kelemahan logika deduktif ini sering pengetahuan yang diperoleh tidak sesuai dengan fakta.
            Secara lebih jelas ilmu seperti sapu lidi, yakni sebagian lidi yang sudah diraut dan dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat, sehingga menjadi sapu lidi. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan tempat lainnya yang belum tersusun dengan baik.
  1. Arti Pengetahuan
            Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa difinisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief).
Sedangkan secara terminologi definisi pengetahuan ada beberapa definisi.
1.      Pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.
2.      Pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam hal ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.
3.      Pengetahuan adalah segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk didalamnya ilmu, seni dan agama. Pengetahuan ini merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung dan tak langsung memperkaya kehidupan kita.
            Pada dasarnya pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Pengetahuan dapat berwujud barang-barang baik lewat indera maupun lewat akal, dapat pula objek yang dipahami oleh manusia berbentuk ideal, atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan.
            Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai matafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error dan berdasarkan pengalaman belaka (Supriyanto, 2003).
  1. Arti Ilmu
            Pada prinsipnya ilmu merupakan usaha untuk mengorganisir dan mensitematisasikan sesuatu. Sesuatu tersebut dapat diperoleh dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Namun sesuatu itu dilanjutkan dengan pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
            Ilmu dapat merupakan suatu metode berfikir secara objektif (objective thinking), tujuannya untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia faktual. Ini diperoleh melalui observasi, eksperimen, dan klasifikasi. Analisisnya merupakan hal yang objektif dengan menyampingkan unsur pribadi, mengedepankan pemikiran logika, netral (tidak dipengaruhi oleh kedirian atau subjektif). Ilmu sebagai milik manusia secara komprehensif yang merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang dipelajarinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan logika dan dapat diamati panca indera manusia.
            Ilmu adalah kumpulan pengetahuan. Namun bukan sebaliknya kumpulan ilmu adalah pengetahuan. Kumpulan pengetahuan agar dapat dikatakan ilmu harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang dimaksudkan adalah objek material dan objek formal. Setiap bidang ilmu baik itu ilmu khusus maupun ilmu filsafat harus memenuhi ke dua objek tersebut. Ilmu merupakan suatu bentuk aktiva yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu lebih lengkap dan lebih cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya.
            Ada tiga dasar ilmu yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dasar ontologi ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Jadi masih dalam jangkauan pengalaman manusia atau bersifat empiris. Objek empiris dapat berupa objek material seperti ide-ide, nilai-nilai, tumbuhan, binatang, batu-batuan dan manusia itu sendiri.
            Pada umumnya metodologi yang digunakan dalam ilmu kealaman disebut siklus-empirik. Ini menunjukkan pada dua macam hal yang pokok, yaitu siklus yang mengandaikan adanya suatu kegiatan yang dilaksanakan berulang-ulang, dan empirik yang menunjukkan pada sifat bahan yang diselidiki, yaitu hal-hal yang dalam tingkatan pertama dapat diregistrasi secara indrawi. Metode siklus-empirik mencakup lima tahapan yang disebut observasi, induksi, deduksi, eksperimen, dan evaluasi. Sifat ilmiahnya terletak pada kelangsungan proses yang runut dari segenap tahapan prosedur ilmiah tersebut, meskipun pada prakteknya tahap-tahap kerja tersebut sering kali dilakukan secara bersamaan (Soeprapto, 2003).
            Ilmu dalam usahanya untuk menyingkap rahasia-rahasia alam haruslah mengetahui anggapan-anggapan kefilsafatan mengenai alam tersebut. Penegasan ilmu diletakkan pada tolok ukur dari sisi fenomenal dan struktural.
1.      Dimensi Fenomenal.
            Dalam dimensi fenomenal ilmu menampakkan diri pada hal-hal berikut :
            Masyarakat yaitu suatu masyarakat yang elit yang dalam hidup kesehariannya sangat konsern pada kaidah-kaidah universaI, komunalisme, disinterestedness, dan skeptisme yang terarah dan teratur
            Proses yaitu olah krida aktivitas masyarakat elit yang melalui refleksi, kontemplasi, imajinasi, observasi, eksperimentasi, komparasi, dan sebagainya tidak pernah mengenal titik henti untuk mencari dan menemukan kebenaran ilmiah. Produk yaitu hasil dari aktivitas tadi berupa dalil-dalil, teori, dan paradigma-paradigma beserta hasil penerapannya, baik yang bersifat fisik, maupun non fisik.
2.      Dimensi Struktural
            Dalam dimensi struktural ilmu tersusun atas komponen-komponen berikut:
a.       Objek sasaran yang ingin diketahui
b.      Objek sasaran terus menerus dipertanyakan tanpa mengenal titik henti
c.       Ada alasan dan dengan sarana dan cara tertentu objek sasaran tadi terus menerus dipertanyakan
d.      Temuan-temuan yang diperoleh selangkah demi selangkah disusun kembali dalam satu kesatuan sistem.
            Ilmu dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu Ilmu Pengetahuan Abstrak, Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Humanis.

DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar A. 2005. Filsafat Ilmu. Ed 1. Cetakan ke 2. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Kattsoff, L.O. 1992. Pengantar Filsafat: Penerjemah Soejono Soemargono. Yogyakarta. Tiara Wacana Yogya.
Mulyadhi Kartanegara, 2003. Pengantar Epistemologi Islam. Mizan. Bandung
Mudhofir, A. 2005. Pengenalan Filsafat. Filsafat Ilmu. Cetakan ketiga. Penerbit Liberty. Yogyakarta.
Siswomihardjo, K.W. 2003. Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu. Dalam Filsafat Ilmu. Cetakan ketiga. Penerbit Liberty. Yogyakarta.
Soeprapto, S. 2003. Landasan Penelaahan Ilmu. Dalam Filsafat Ilmu. Cetakan ketiga. Penerbit Liberty. Yogyakarta.
Suriasumantri, Jujun S, 2000. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan XIII. Sinar Harapan Jakarta.
Supriyanto, S. 2003. Filsafat Ilmu. Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Surabaya.
Tjahyadi, S. 2005. Ilmu, Teknologi dan Kebudayaan. Dalam Filsafat Ilmu. Cetakan ketiga. Penerbit Liberty. Yogyakarta.

MAKALAH PENDEKATAN SOSIOLOGI DALAM STUDI ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

Dengan menyebarnya kaum muslimin di berbagai wilayah, dengan terbentuknya kaum muslimin sebagai masyarakat sosial, maka secara otomatis kajian-kajian ke-Islaman, khususnya tentang masyarakat kaum muslimin layak untuk didekati dengan pendekatan sosiologis. Karena sosiologi itu sendiri merupakan ilmu yang berkenaan dengan masyarakat sosial, hubungan yang terjadi di dalamnya dan pengaruhnya kepada struktur masyarakat tersebut.
Islam memang tidak akan dapat dipahami dengan universal dan humanis tanpa mendekatinya dengan pendekatan sosiologis. Beberapa gejala dalam masyarakat kaum muslimin, selain juga bisa didekati dengan beberapa pendekatan lain, tentu menyediakan ruang untuk dikaji dengan pendekatan sosiologis. Karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan sosiologi, di sinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu instrumen dalam memahami ajaran agama.[1]
Dalam makalah ini akan diuraikan tentang sosiologi sebagai pendekatan  kajian-kajian ke-Islaman yang dapat melahirkan studi-studi ke-Islaman yang lebih dinamis terhadap gejala-gejala sosial yang terjadi di masyarakat.
Beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah tentang pengertian sosiologi, Metode pendekatan sosiologi, Pendekatan sosiologis dalam tradisi intelektual Islam, Signifikansi pendekatan sosiologis dalam studi Islam, Agama sebagai fenomena sosiologis, dan Karya utama dalam pendekatan sosiologis dalam studi Islam.


BAB II
PEMBAHASAN
PENDEKATAN SOSIOLOGI DALAM STUDI ISLAM
1.        Pengertian Sosiologi
Secara etimologi, kata sosiologi berasal dari bahasa Latin dari kata “socius” yang berarti teman dan “logos” yang berarti berkata atau berbicara. Jadi sosiologi artinya berbicara tentang manusia yang berteman atau bermasyarakat.[2]
Secara terminologi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial.[3] Adapun objek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antara manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat. Sedangkan tujuannya adalah meningkatakan daya atau kemampuan manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya.
Sosiologi adalah kajian ilmiah tentang kehidupan sosial manusia yang berusaha mencari tahu tentang hakekat dan sebab-sebab dari berbagai pola pikiran dan tindakan manusia yang teratur dapat berulang. Berbeda dengan psikologi yang memusatkan perhatiannya pada karakteristik pikiran dan tindakan orang per-orangan, sosiologi hanya tertarik kepada pikiran dan tindakan yang dimunculkan seseorang sebagai anggota suatu kolompok atau masyarakat.[4]
Namun perlu diingat bahwa sosiologi adalah disiplin ilmu yang luas dan mencakup banyak hal, dan ada banyak jenis sosiologi yang mempelajari sesuatu yang berbeda dengan tujuan berbeda-beda.[5]
Selain itu, sosiologi juga merupakan sebagai studi sistematis mengenai keadaan kelompok dan masyarakat serta gejala-gejalanya yang saling berhubungan  dan saling mempengaruhi setiap tindakan. Sosiologi tidak membahas individu, akan tetapi lebih kepada gejala-gejala sosial yang berdasar pada penjelasan sejarah, peristiwa dan kehidupan nyata.
Dalam hal ini Maijor Polak juga mensinyalir bahwa sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan, yakni antar hubungan di antara manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formil maupun materil, baik statis maupun dinamis.[6]
2.        Metode Pendekatan Sosiologi
Untuk menghasilkan suatu teori, maka kajian-kajian ilmiah harus memiliki pendekatan-pendekatan, demikian halnya dengan teori-teori sosiologi. Ada tiga pendekatan utama sosiologi, yaitu:
a.       Pendekatan struktural-fungsional.
Ini merupakan interdisiplin ilmu antara pendekatan strukturalisme dan fungsionalisme. Pendekatan strukturalisme akan mengkaji struktur kehidupan masyarakat dengan mengabaikan fungsi dari setiap struktur tersebut. Pendekatan ini hanya melihat masyarakat sebagai sebuah komponen yang memiliki struktur pembangun di dalamnya. Sedangkan fungsionalisme lebih cenderung kepada kajian bahwa setiap komponen dalam masyarakat mempunyai fungsi dan peran di dalam masyarakat. Kajian ini mengutamakan fungsi tersebut dan lebih mengabaikan struktur, bahwa setiap komponen harus berfungsi selayaknya, jika tidak maka akan terjadi kepincangan dalam kehidupan sosial.
Maka kombinasi antara strukturalisme dan fungsionalisme ini memandang bahwa masyarkat tidak hanya sebagai kesatuan struktur saja atau fungsi saja, tapi cenderung untuk mengkaji masyarakat baik dari strukturnya maupun fungsinya dan hubungan di antara keduanya.
Pendekatan struktural-fungsional terkenal pada akhir 1930-an, dan mengandung pandangan makroskopis terhadap masyarakat. Walaupun pendekatan ini bersumber pada sosiolog-sosiolog Eropa seperti Max Webber, Emile Durkheim, Vill Predo Hareto, dan beberapa antropog sosial Inggris, namun yang pertama yang mengemukakan rumusan sistematis mengenai teori ini adalah Halcot Parsons, dari Harvard. Teori ini kemudian dikembangkan oleh para mahasiswa Parson, dan para murid mahasiswa tersebut, terutama di Amerika.
b.      Pendekatan Konflik.
Adapun pendekatan konflik merupakan pendekatan alternatif paling menonjol saat ini terhadap pendekatan struktural-fungsional sosial makro. Karl Marx (1818-1883) adalah tokoh yang sangat terkenal sebagai pencetus gerakan sosialis internasional. Meskipun sebagian besar tulisannya ia tujukan untuk mengembangkan sayap gerakan ini, tetapi banyak asumsinya yang dalam pengertian modern diakui sebagai teori sosiologis.[7] Namun para pengikut sosiologi Marx menggunakan pedoman-pedoman sosiologis dan ideologi Marx secara sangat eksplisit, sedangkan praktek ideologis hanya secara implisit terdapat dalam tulisan-tulisan para penganut pendekatan sturuktural-fungsional.
Ia menganggap cara produksi di sepanjang sejarah manusia secara sedikian rupa, sehingga sampai-sampai ia berpandangan sumber daya ekonomi dikuasai oleh segelintir orang tertentu, sementara golongan masyarakat lainnya ditakdirkan untuk bekerja untuk mereka dan tetap bergantung pada kemurahan hati segelintir penguasa.
Bertolak dari memandang sejarah manusia dengan cara seperti ini, Marx mengajukan teori sosialismenya yakni sautu solusi final agar seluruh sumber daya dapat dimiliki oleh semua orang. Revolusi-revolusi lanjutan tidak lagi diperlukan karena idealnya tidak akan adala lagi kelaparan,peng eksploitasian dan konflik.
c.       Pendekatan Interaksionisme-Simbolis.
Pendekatan ini juga merupakan pendekatan yang menggunakan interdisiplin, yakni interaksionisme yakni sebuah pendekatan yang mengkaji hubungan-hubungan yang terjadi di masyarakat.[8] Kemudian pendekatan ini digabungkan dengan pendekatan simbolisme dengan asumsi bahwa semua interaksi dalam masyarakat hanya akan terlihat dengan jelas bila dihubungkan dengan simbol-simbol yang berlaku di kalangan mereka.
Sedangkan pendekatan interaksionisme-simbolis merupakan sebuah perspektif mikro dalam sosiologi yang barang kali sangat spekulatif pada tahapan analisanya sekarang ini. Tetapi pendekatan ini mengandung sedikit sekali prasangkan ideologis, walaupun meminjam banyak dari lingkungan Barat tempat dibinanya pendekatan itu.
Sebagaimana dipesankan oleh namanya, interaksionisme-simbolis lebih sering disebut sebagai pendekatan interaksionis saja-bertolak dari interaksi sosial pada tingkat paling minimal. Dari tingkat mikro ini, tidak seperti jenis lain psikologi sosial, ia diharapkan memperluas cakupan analisisnya guna menangkap keseluruhan masyarakat sebagai penentu proses dari banyak interaksi. Manusia dipandang mempelajari situasi-situasi yang bisa serasi atau bisa pula menyimpang, mempelajari situasi-situasi transaksi-trasnsaksi politis dan ekonomis, situasi-situasi di dalam dan diluar keluarga, situasi-situasi permainan dan pendidikan, situasi-situasi organisasi, formal dan informal dan seterusnya.
Ketiga pendekatan sosiologi (struktural-fungsional, konflik dan intraksionisme-simbolis) yang telah disebutkan pada bagian terdahulu, adalah pendekatan sosiologi kontemporer yang dibina dengan objek masyarakat barat, karenanya pendekatan tersebut tidak bersifat universal. Pemikiran barat bukan saja jauh dari dan kerap kali bertentangan dengan persepsi-persepsi lokal dalam masyarakat-masyarakat non-Barat, tetapi juga tidak mampu menjelaskan problem yang dewasa ini dihadapi oleh masyarakat-masyarakat ini.
Tidak sedikit contoh tentang kelemahan dalam sosiologi ini. Misalnya teori tentang kejahatan dan pelanggaran serta penyimpangan yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman dan penelitian-penelitian di pusat kota New York dan Chicago, tidak menjelaskan masalah kejahatan dan penyimpangan yang ada di Uni Soviet, Fakistan, Mesir, Indonesia dan masyarakat-masyarakat serupa lainnya.[9]
Upaya-upaya sosialisasi modern untuk menjelaskan stratifikasi sosial, perkawinan dan keluarga, juga dapat dikatakan tidak memadai untuk menerangkan masyarakat-masyarakat non-Barat. Dan jika diperhatikan lebih dekat, akan ditemukan banyak perbedaan dalam pendekatan-pendekatan yang dianut dikalangan sosiolog-sosiolog satu Negara Barat dan Negara Barat lainnya.
Memang telah ada upaya-upaya untuk meredakan perbedaan-perbedaan sosiologis antara satu Negara Barat dengan Negara Barat lainnya. Perbedaan-perbedaan ini bisa dihilangkan dengan interaksi yang lebih akrab antara para sosiolog Eropa dan Amerika, tetapi akan tetap dirasakan adanya kenyataan yang janggal bahwa pendekatan-pendekatan sosiologis Barat didasarkan pada asumsi-asumsi dan penelitian-penelitian yang asing bagi realitas sosial di masyarakat non-Barat.
Bila dialihkan perhatian, dari masyarakat Barat pada umumnya, ke masyarakat Muslim atau wilayah yang berkebudayaan Islam pada khususnya, maka akan terlihat bahwa studi sistematis mengenai Islam merupakan suatu bidang yang benar-benar tidak diperdulikan dalam sosiologi. Nyaris tidak satu pun studi sosiologis tentang Islam dan masyarakat-masyarakat Muslim.[10]
3.        Pendekatan Sosiologis Dalam Tradisi Intelektual Islam
Ibnu Khaldun telah menghimpun sosiologinya dalam karya monumentalnya Muqaddimah. Cakrawala pikiran-pikiran Ibnu Khaldun sangat luas. Dia dapat memahami masyarakat dengan segala totalitasnya, dan dia menunjukkan segala fenomena untuk bahan studinya. Dia juga mencoba untuk memahami gejala-gejala itu dan menjelaskan hubungan kausalitas. Dibawah sorotan sinar sejarah, kemudian ia mensistematiskan proses peristiwa-peristiwa dan kaitannya dalam suatu kaidah sosial yang umum.
Muqaddimah bukanlah kajian sederhana bagi ilmu kemasyarakatan, tetapi suatu percobaan yang berhasil dalam memperbaharui ilmu sosial. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun mengajak menjadikan ilmu sosial sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Hal ini yang membuat Prof. Sati Hasri berpendapat bahwa Ibnu Khaldun telah berbuat yang sedemikian jauh sebelum August Comte, lebih dari 460 tahun.[11]
Keunggulan Muqaddimah Ibnu Khaldun dapat ditemukan dalam beberapa hal, antara lain adalah pada falsafah sejarah. Penemuan ini telah memberi kita pengertian tentang pemahaman yang baru tentang sejarah, yaitu bahwa sejarah itu adalah ilmu dan memiliki filsafat. Sejarah bukanlah semata-mata merupakan peristiwa-peristiwa sejarah yang terkait dengan determinisme kealam dan bahwa fenomena sejarah adalah kejadian-kejadian dalam negara.
Metodologi sejarah Ibnu Khaldun melihat bahwa kriteria logika tidak sejalan dengan watak benda-benda empirik, oleh karena epistemologinya adalah observasi. Prinsip ini merangsang para sejarawan untuk mengorientasikan pemikirannya kepada ekspriment dan tidak menganggap cukup ekpsriment yang sifatnya individual, tetapi hendaknya mengambil sejumlah ekperimen, dialah yang pertama berkata sesuai dengan metodologi sejarah, adanya hubungan antara sejarah dengan ekonomi. Dia berpendapat bahwa faktor utama dalam revolusi dan perubahan ialah ekonomi.
Ketiga bahwa beliaulah penggagas ilmu peradaban, atau falsafah sosial. Pokok bahasannya ialah, kesejahteraan masyarakat manusia dan kesejahteraan sosial. Ibnu Khaldun memandang ilmu peradaban perdefenisi, ilmu baru luar biasa dan banyak faedahnya.
Dia jugalah yang pertama yang mengaitkan antara evolusi masyarakat manusia dari satu sisi dan sebab yang berkaitan pada sisi lain. Dia mengetahui dengan baik masalah-masalah penelitian dan laporannya. Laporan penelitian menurutnya hendaklanya diperkuat oleh dalil-dalil yang meyakinkan, ia telah mengkaji prilaku manusia dan pengaruh iklim dan berbagai aspek pencarian nafkah beserta penejelasan pengaruhnya pada konstitusi tubuh manusia dan intelektual manusia dan masyarakat.
Dalam perkembangan Islam yang berkaitan dengan ilmu-ilmu kemasyarakatan maka kita akan dapat melihat berbagai macam karya monumental yang masih tetap berpengaruh hingga saat ini. Karya-karya tersebut bertujuan untuk menjelaskan Islam dengan pemahaman yang lebih mendalam, lebih humanis dan lebih universal. Sumbangan karya tersebut antara lain seperti karya para perawi hadist seperti Bukhori dan Muslim. Metode seleksi mereka terhadap reputasi sosial mata rantai hadist dipandang sebagai kajian yang dilakukan dengan pendekatan sosiologis.
Kajian monumental lainnya muncul dalam bidang fikih. Abu Hanifah di Baghdad adalah orang yang sangat terkenal dengan istinbat hukum yang bervariasi karena pengaruh kondisi sosial, masyarakat yang homogen dan faktor lainnya. Selain beliau ada Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.
Tentang Abu Hanifah, dalam pendapat hukumnya, ia banyak dipengaruhi oleh perkembangan sosial yang terjadi di kota Kufah. Kota Kufah terletak jauh dari Madinah  yang banyak merekam aktivitas Nabi dan kaum muslimin di masa awal. Dua faktor, yakni sedikitnya hadist yang beredar di Kufah dan juga perkembangan sosial masyaraktnya yang lebih dinamis karena keheterogenan penduduknya, mempengaruhi cara pengambilan hukum antara Imam Malik di Madinah dengan Abu Hanifah di Kufah.
4.        Signifikansi Pendekatan Sosiologis Dalam Studi Islam
Pentingnya pendekatan sosiologis dalam memahami agama dapat difahami karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini, selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya. Jalaluddin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini adalah Islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut:[12]
1.      Dalam Alquran atau Hadist, proporsi terbesar kedua sember hukum Islam tersebut berkenaan dengan urusan mua’amalah. Menurut Ayatullah Khomeini perbandingan antara ayat ibadah dengan ayat kehidupan sosial adalah 1:100.
2.      Bahwa ditekankannya masalah mu’amalah atau sosial dalam masalah Islam adalah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan mu’amalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan.
3.      Bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan, karena itu shalat yang dilakukan berjama’ah adalah lebih tinggi nilainya dari pada shalat yang dikerjakan sendirian.
4.      Dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah tidak dilakukan dengan sempurna, maka kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
5.      Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemaysarakatan mendapat amalan lebih besar dari pada ibadah sunnah.
Berdasarkan pemahaman kelima alasan diatas, maka melalui pendekatan sosiologis, agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya dijumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa dan sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu hanya baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada ajaran agama itu diturukan.[13]
5.        Agama sebagai Gejala Budaya dan Gejala Sosial
Penjelasan yang bagaimanapun tentang agama, tidak akan pernah tuntas tanpa menyertakan aspek sosiologisnya. Agama yang menyakut kepercayaan serta berbagai prakteknya, benar-benar merupakan masalah sosial dan sampai saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat manusia di mana kita memiliki catatan, termasuk yang biasa diketengahkan dan ditafsirkan oleh ahli arkeologi.
Dalam masyarakat yang sudah mapan agama merupakan salah satu struktur institusional penting yang melengkapi kesluruhan sistem sosial, akan tetapi masalah agama berbeda dengan masalah hukum, yang lazim menyangkut alokasi serta pengendalian kekuasaan. Berbeda dengan lembaga ekonomi yang berkaitan dengan kerja, produksi dan pertukaran dan juga berbeda dengan lembaga keluarga yang mengatur serta memolakan hubungan antar jenis kelamin, agar generasi yang diantaranya berkaitan dengan pertalian keturunan serta kekerabatan.
Thomas F. Odea mengatakan “masalah inti dari agama tampaknya menyangkut sesuatu yang masih kabur serta tidak dapat diraba, yang realitas empirisnya sama sekali belum jelas, ia menyangkut dunia luar. Hubungan manusia dan sikapnya terhadao dunia luar itu dan dengan apa yang dianggap manusia sebagai implikasi praktis dari dunia luar tersebut terhadap kehidupan manusia”.
Perbandingan aktivitas agama dengan aktivitas lain, atau perbandingan lembaga keagamaan dengan lembaga sosial lain, menujukkan bahwa agama dalam pautannya dengan masalah yang tidak dapat diraba tersebut merupakan sesuatu yang tidak penting, sesuatu yang sepele dibandingkan dengan masalah pokok manusia.
Namun kenyataan menunjuk lain, sebenarnya lembaga keagamaan adalah menyangkut hal yang penting tertentu, menyangkut masalah aspek kehidupan manusia, yang dapat transedensinya mencakup sesuatu yang mempunyai arti penting dan menonjol bagi manusia. Bahkan sejarah menunjukkan bahwa lembaga-lembaga keagamaan merupakan bentuk assosiasi manusia yang paling mungkin untuk terus bertahan.
Disamping itu, agama telah diceritakan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublim, sebagai sejumlah sumber moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu sebagai sesutau memuliakan dan membuat manusia beradab. Tetapi agama juga dituduh sebagai penghambat kemajuan manusia dan mempertinggi fanatisme dan mempertinggi toleran, pengacuhan, pengabaian, takhyul dan kesia-siaan.
Catatan sejarah yang ada menunjuk agama sebagai salah penghambat tatanan sosial yang telah mapan. jika dilihat dari karateristiknya, jelas agama bukanlah gejala ilmu kealaman yang memiliki sifat keterulangan seperti halnya air yang selalu mengalir ke bawah. Definisi agama sebagai kepercayaan akan adanya Yang Maha Kuasa menempatkan agama sebagai sebuah gejala budaya. Dalam hal ini menurut Atho Mudzhar setidaknya ada lima gejala yang perlu diperhatikan.[14] Pertama, scripture berupa naskah-naskah sumber ajaran dan simbol-simbol agama. Kedua, para penganut, pemimpin, dan pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para pemeluknya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadat-ibadat. Keempat, alat-alat, seperti masjid, peci, atau semacamnya. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan. Tetapi agama juga memperlihatkan kemampuannya melahirkan kecenderungan yang sangat revolusioner, seperti peristiwa pemberontakan petani, pada abad ke-16 di Jerman. Emile Durkheim seorang pelopor sosiologi agama di Prancis mengatakan bahwa agama merupakan sumber semua kebudayaan yang sangat tinggi. Sedangkan Marx mengatakan bahwa agama adalah candu bagi manusia.[15]
6.        Karya Utama dalam Studi Islam dalam Pendekatan Sosiologis
Dalam kajian pendekatan sosiologi dalam studi Islam, banyak para penulis baik penulis dari barat maupun penulis muslim itu sendiri, yang telah menghasilkan karyanya tentang sosiologi yang ada hubungannya dalam memahami agama. Diantaranya adalah :
1.    Clifford Geertz . Salah Satu Karyanya The religion of Java, Religion as a cultural system.
2.    Abu Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruni al-Khawarizmi. Karyanya berjudul Tarikh al-Hindi.
3.    Ali Syari’ati telah menulis beberapa buku, diantaranya : Marxisme and other western Fallacies.
4.    Ibnu Batutah, adapun karyanya yang berjudul Tuhfah al-Nuzzar fi Ghara’ib al-Amsar wa Ajaib al-Asfar. Dll.
5.    Ibnu Khaldun, Karya Besarnya Al-Muqaddimah.
6.    Koentjaraningrat diantara hasil karyanya; masyarakat desa di Indonesia masa ini, beberapa pokok antropologi sosial dan lain-lain.
7.    August Comte (1798-1857), seorang berkebangsaan Perancis yang merupakan bapak sosiologi yang pertama kali memberi nama pada ilmu tersebut yaitu dari kata-kata socius dan logos. Hasil karyanya adalah; The scienstific labors necessary for the reorganization of society.


BAB III
KESIMPULAN
Sosiologi merupakan ilmu yang tergolong masih muda walaupun telah mengalami perkembangan cukup lama, yaitu sejak manusia mengenal kebudayaan dan peradaban. Dalam kehidupannya, manusia telah banyak menaruh perhatian dan minat terhadap sosiologi. Suatu keadaan yang terjadi dalam masyarakat seperti, kejahatan perang, penguasaan golongan yang satu terhadap golongan lainnya, kepercayaan dan sebagainya. Melalui perhatian tersebut lalu muncul teori-teori yang berkenaan dengan kemasyarakatan yang kemudian teori-teori tersebut digunakan utuk mengkaji agama.
Beberapa objek pendekatan sosiologi yang digunakan oleh para sosiolog ternyata menghasilkan cara unntuk memahami agama dengan mudah. Selain itu memang menurut beberapa sosiolog dan ahli metodelogi studi-studi ke-Islaman bahwa agama Islam itu sendiri sangat mementingkan peranan aspek sosial dalam kehidupan beragama.
Pendekatan sosiologis dalam kajian-kajian aspek agama Islam sebenarnya bukanlah sebuah tradisi yang benar-benar baru. Banyak kalangan mengakui bahwa pendekatan ini telah lama digunakan dalam tradisi intelektual Islam, seperti penelitian para periwayat hadist yang dilakukan oleh imam-imam Hadist, akan tetapi Ibn Khaldunlah yang kemudian memakai pendekatan ini dengan metode yang lebih sistematis.
Pendekatan Sosiologi mempunyai peluang yang sangat besar untuk berkembang dalam lingkup studi Islam. Dengan begitu kontribusinya kemudian dalam tradisi intelektual Islam tentu saja akan sangat besar.

DAFTAR PUSTAKA
Ba-Yunus, Ilyas dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam: Sebuah Pendekatan, (Terj. Hamid Ba-Syaib), Bandung: Mizan, 1996.
Mukti Ali, Abdul,  Ibnu Khaldun dan Asal-usul Sosiologi, Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 2001.
Polak, Maijor, Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1991.
S, Josefh, Sosiologi Sebuah Pengenalan, (Terj. Sahat Simamora), Jakarta: Bina Aksara, 1984.
Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, Bandung: Mizan, 1986.
Steven K. Sanderson, Sosiologi Makro, (Terj. Sahat Simamora), Jakarta : Bina Aksara, 1984.
Stepen K. Sanderson, Sosiologi Makro, Edisi Indonesia, (Terj. Hotman M. Siahaan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Syani, Abdul, Sosiologi Dan Perubahan Masyarakat, Lampung: Pustaka Jaya, 1995.
Tim MGMP, Sosiologi SUMUT, Medan: Kurnia, 1999.
Thomas F. O’dea, The Sosiology of  Religion, (Terj. Tim Yosogama), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.


[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2001), h. 39
[2] Abdul Syani, Sosiologi Dan Perubahan Masyarakat, (Lampung: Pustaka Jaya, 1995), h. 2.
[3] Tim MGMP, Sosiologi SUMUT, (Medan: Kurnia, 1999), h. 3.
[4] Steven K. Sanderson, Sosiologi Makro, Terj. Sahat Simamora, (Jakarta : Bina Aksara, 1984), h. 253.
[5] Stepen K. Sanderson, Sosiologi Makro, Edisi Indonesia, Ter. Hotman M. Siahaan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 2.
[6] Maijor Polak, Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1991), h. 7.
[7] Josefh S, Sosiologi Sebuah Pengenalan, terj. Sahat Simamora, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), h. 22.
[8] Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam: Sebuah Pendekatan, terj. Hamid Ba-Syaib, (Bandung: Mizan, 1996), h. 20-24.
[9] Ibid.. hal. 29.
[10] Ibid., h. 30.
[11] Abdul Mukti Ali, Ibnu Khaldun dan Asal-usul Sosiologi, (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970), h. 12.
[12] Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif,  (Bandung: Mizan, 1986) h. 48.
[13] Abuddin Nata, Op.Cit,. h. 42.
[14] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam…, hlm. 14.
[15] Thomas F. O’dea, The Sosiology of  Religion, Terj. Tim Yosogama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 2
 
Copyright © 2014. BukaBaju Template - Design: Gusti Adnyana