MAKALAH PENDEKATAN SOSIOLOGI DALAM STUDI ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
Dengan
menyebarnya kaum muslimin di berbagai wilayah, dengan terbentuknya kaum
muslimin sebagai masyarakat sosial, maka secara otomatis kajian-kajian
ke-Islaman, khususnya tentang masyarakat kaum muslimin layak untuk didekati
dengan pendekatan sosiologis. Karena
sosiologi itu sendiri merupakan ilmu yang berkenaan dengan masyarakat sosial,
hubungan yang terjadi di dalamnya dan pengaruhnya kepada struktur masyarakat
tersebut.
Islam memang tidak akan dapat
dipahami dengan universal dan humanis tanpa mendekatinya dengan pendekatan
sosiologis. Beberapa gejala dalam masyarakat kaum muslimin, selain juga bisa
didekati dengan beberapa pendekatan lain, tentu menyediakan ruang untuk dikaji
dengan pendekatan sosiologis. Karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat
dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan
sosiologi, di sinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu instrumen dalam
memahami ajaran agama.[1]
Dalam makalah ini akan diuraikan
tentang sosiologi sebagai pendekatan kajian-kajian ke-Islaman yang dapat
melahirkan studi-studi ke-Islaman yang lebih dinamis terhadap gejala-gejala
sosial yang terjadi di masyarakat.
Beberapa masalah yang
akan dibahas dalam makalah ini adalah tentang pengertian sosiologi, Metode
pendekatan sosiologi, Pendekatan sosiologis dalam tradisi intelektual Islam,
Signifikansi pendekatan sosiologis dalam studi Islam, Agama sebagai fenomena
sosiologis, dan Karya utama dalam pendekatan sosiologis dalam studi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
PENDEKATAN SOSIOLOGI DALAM STUDI ISLAM
1.
Pengertian Sosiologi
Secara etimologi, kata sosiologi berasal dari bahasa
Latin dari kata “socius” yang berarti teman dan “logos” yang berarti berkata
atau berbicara. Jadi sosiologi artinya berbicara tentang manusia yang berteman
atau bermasyarakat.[2]
Secara terminologi, sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk
perubahan-perubahan sosial.[3] Adapun objek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat
dari sudut hubungan antara manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia
dalam masyarakat. Sedangkan tujuannya adalah meningkatakan daya atau kemampuan
manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya.
Sosiologi adalah kajian
ilmiah tentang kehidupan sosial manusia yang berusaha mencari tahu tentang
hakekat dan sebab-sebab dari berbagai pola pikiran dan tindakan manusia yang
teratur dapat berulang. Berbeda
dengan psikologi yang memusatkan perhatiannya pada karakteristik pikiran dan
tindakan orang per-orangan, sosiologi hanya tertarik kepada pikiran dan
tindakan yang dimunculkan seseorang sebagai anggota suatu kolompok atau
masyarakat.[4]
Namun perlu diingat bahwa
sosiologi adalah disiplin ilmu yang luas dan mencakup banyak hal, dan ada
banyak jenis sosiologi yang mempelajari sesuatu yang berbeda dengan tujuan
berbeda-beda.[5]
Selain itu, sosiologi juga merupakan sebagai studi
sistematis mengenai keadaan kelompok dan masyarakat serta gejala-gejalanya yang
saling berhubungan dan saling mempengaruhi setiap tindakan. Sosiologi
tidak membahas individu, akan tetapi lebih kepada gejala-gejala sosial yang
berdasar pada penjelasan sejarah, peristiwa dan kehidupan nyata.
Dalam hal ini Maijor Polak juga mensinyalir bahwa
sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai
keseluruhan, yakni antar hubungan di antara manusia dengan manusia lainnya,
manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formil maupun materil,
baik statis maupun dinamis.[6]
2.
Metode Pendekatan Sosiologi
Untuk menghasilkan suatu teori, maka kajian-kajian ilmiah
harus memiliki pendekatan-pendekatan, demikian halnya dengan teori-teori
sosiologi. Ada tiga pendekatan utama sosiologi, yaitu:
a.
Pendekatan
struktural-fungsional.
Ini merupakan interdisiplin ilmu antara pendekatan
strukturalisme dan fungsionalisme. Pendekatan strukturalisme akan mengkaji
struktur kehidupan masyarakat dengan mengabaikan fungsi dari setiap struktur
tersebut. Pendekatan ini hanya melihat masyarakat sebagai sebuah komponen yang
memiliki struktur pembangun di dalamnya. Sedangkan fungsionalisme lebih
cenderung kepada kajian bahwa setiap komponen dalam masyarakat mempunyai fungsi
dan peran di dalam masyarakat. Kajian ini mengutamakan fungsi tersebut dan
lebih mengabaikan struktur, bahwa setiap komponen harus berfungsi selayaknya,
jika tidak maka akan terjadi kepincangan dalam kehidupan sosial.
Maka kombinasi antara strukturalisme dan fungsionalisme
ini memandang bahwa masyarkat tidak hanya sebagai kesatuan struktur saja atau
fungsi saja, tapi cenderung untuk mengkaji masyarakat baik dari strukturnya
maupun fungsinya dan hubungan di antara keduanya.
Pendekatan struktural-fungsional terkenal pada akhir
1930-an, dan mengandung pandangan makroskopis terhadap masyarakat. Walaupun
pendekatan ini bersumber pada sosiolog-sosiolog Eropa seperti Max Webber, Emile
Durkheim, Vill Predo Hareto, dan beberapa antropog sosial Inggris, namun yang
pertama yang mengemukakan rumusan sistematis mengenai teori ini adalah Halcot
Parsons, dari Harvard. Teori ini kemudian dikembangkan oleh para mahasiswa
Parson, dan para murid mahasiswa tersebut, terutama di Amerika.
b.
Pendekatan Konflik.
Adapun pendekatan konflik merupakan pendekatan alternatif
paling menonjol saat ini terhadap pendekatan struktural-fungsional sosial makro.
Karl Marx (1818-1883) adalah tokoh yang sangat terkenal sebagai pencetus
gerakan sosialis internasional. Meskipun sebagian besar tulisannya ia tujukan
untuk mengembangkan sayap gerakan ini, tetapi banyak asumsinya yang dalam
pengertian modern diakui sebagai teori sosiologis.[7] Namun para pengikut sosiologi Marx menggunakan
pedoman-pedoman sosiologis dan ideologi Marx secara sangat eksplisit, sedangkan
praktek ideologis hanya secara implisit terdapat dalam tulisan-tulisan para
penganut pendekatan sturuktural-fungsional.
Ia menganggap cara produksi di sepanjang sejarah manusia
secara sedikian rupa, sehingga sampai-sampai ia berpandangan sumber daya
ekonomi dikuasai oleh segelintir orang tertentu, sementara golongan masyarakat
lainnya ditakdirkan untuk bekerja untuk mereka dan tetap bergantung pada kemurahan
hati segelintir penguasa.
Bertolak dari memandang sejarah manusia dengan cara
seperti ini, Marx mengajukan teori sosialismenya yakni sautu solusi final agar
seluruh sumber daya dapat dimiliki oleh semua orang. Revolusi-revolusi lanjutan
tidak lagi diperlukan karena idealnya tidak akan adala lagi kelaparan,peng
eksploitasian dan konflik.
c.
Pendekatan
Interaksionisme-Simbolis.
Pendekatan ini juga merupakan pendekatan yang menggunakan
interdisiplin, yakni interaksionisme yakni sebuah pendekatan yang mengkaji
hubungan-hubungan yang terjadi di masyarakat.[8] Kemudian pendekatan ini digabungkan dengan pendekatan
simbolisme dengan asumsi bahwa semua interaksi dalam masyarakat hanya akan
terlihat dengan jelas bila dihubungkan dengan simbol-simbol yang berlaku di
kalangan mereka.
Sedangkan pendekatan interaksionisme-simbolis merupakan
sebuah perspektif mikro dalam sosiologi yang barang kali sangat spekulatif pada
tahapan analisanya sekarang ini. Tetapi pendekatan ini mengandung sedikit
sekali prasangkan ideologis, walaupun meminjam banyak dari lingkungan Barat
tempat dibinanya pendekatan itu.
Sebagaimana dipesankan oleh namanya,
interaksionisme-simbolis lebih sering disebut sebagai pendekatan interaksionis
saja-bertolak dari interaksi sosial pada tingkat paling minimal. Dari tingkat
mikro ini, tidak seperti jenis lain psikologi sosial, ia diharapkan memperluas
cakupan analisisnya guna menangkap keseluruhan masyarakat sebagai penentu
proses dari banyak interaksi. Manusia dipandang mempelajari situasi-situasi
yang bisa serasi atau bisa pula menyimpang, mempelajari situasi-situasi
transaksi-trasnsaksi politis dan ekonomis, situasi-situasi di dalam dan diluar
keluarga, situasi-situasi permainan dan pendidikan, situasi-situasi organisasi,
formal dan informal dan seterusnya.
Ketiga pendekatan sosiologi (struktural-fungsional,
konflik dan intraksionisme-simbolis) yang telah disebutkan pada bagian
terdahulu, adalah pendekatan sosiologi kontemporer yang dibina dengan objek
masyarakat barat, karenanya pendekatan tersebut tidak bersifat universal.
Pemikiran barat bukan saja jauh dari dan kerap kali bertentangan dengan
persepsi-persepsi lokal dalam masyarakat-masyarakat non-Barat, tetapi juga
tidak mampu menjelaskan problem yang dewasa ini dihadapi oleh
masyarakat-masyarakat ini.
Tidak sedikit contoh tentang kelemahan dalam sosiologi
ini. Misalnya teori tentang kejahatan dan pelanggaran serta penyimpangan yang
didasarkan pada pengalaman-pengalaman dan penelitian-penelitian di pusat kota
New York dan Chicago, tidak menjelaskan masalah kejahatan dan penyimpangan yang
ada di Uni Soviet, Fakistan, Mesir, Indonesia dan masyarakat-masyarakat serupa
lainnya.[9]
Upaya-upaya sosialisasi modern untuk menjelaskan
stratifikasi sosial, perkawinan dan keluarga, juga dapat dikatakan tidak
memadai untuk menerangkan masyarakat-masyarakat non-Barat. Dan jika
diperhatikan lebih dekat, akan ditemukan banyak perbedaan dalam
pendekatan-pendekatan yang dianut dikalangan sosiolog-sosiolog satu Negara Barat
dan Negara Barat lainnya.
Memang telah ada upaya-upaya untuk meredakan
perbedaan-perbedaan sosiologis antara satu Negara Barat dengan Negara Barat
lainnya. Perbedaan-perbedaan ini bisa dihilangkan dengan interaksi yang lebih
akrab antara para sosiolog Eropa dan Amerika, tetapi akan tetap dirasakan
adanya kenyataan yang janggal bahwa pendekatan-pendekatan sosiologis Barat
didasarkan pada asumsi-asumsi dan penelitian-penelitian yang asing bagi
realitas sosial di masyarakat non-Barat.
Bila dialihkan perhatian, dari masyarakat Barat pada
umumnya, ke masyarakat Muslim atau wilayah yang berkebudayaan Islam pada
khususnya, maka akan terlihat bahwa studi sistematis mengenai Islam merupakan
suatu bidang yang benar-benar tidak diperdulikan dalam sosiologi. Nyaris tidak
satu pun studi sosiologis tentang Islam dan masyarakat-masyarakat Muslim.[10]
3.
Pendekatan Sosiologis Dalam Tradisi Intelektual Islam
Ibnu
Khaldun telah menghimpun sosiologinya dalam karya monumentalnya Muqaddimah. Cakrawala
pikiran-pikiran Ibnu Khaldun sangat luas. Dia dapat memahami masyarakat dengan
segala totalitasnya, dan dia menunjukkan segala fenomena untuk bahan studinya.
Dia juga mencoba untuk memahami gejala-gejala itu dan menjelaskan hubungan
kausalitas. Dibawah sorotan sinar sejarah, kemudian ia mensistematiskan proses
peristiwa-peristiwa dan kaitannya dalam suatu kaidah sosial yang umum.
Muqaddimah
bukanlah kajian sederhana bagi ilmu kemasyarakatan, tetapi suatu percobaan yang
berhasil dalam memperbaharui ilmu sosial. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun
mengajak menjadikan ilmu sosial sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Hal ini yang
membuat Prof. Sati Hasri berpendapat bahwa Ibnu Khaldun telah berbuat yang
sedemikian jauh sebelum August Comte, lebih dari 460 tahun.[11]
Keunggulan
Muqaddimah Ibnu Khaldun dapat ditemukan dalam beberapa hal, antara lain
adalah pada falsafah sejarah. Penemuan ini telah memberi kita pengertian
tentang pemahaman yang baru tentang sejarah, yaitu bahwa sejarah itu adalah
ilmu dan memiliki filsafat. Sejarah bukanlah semata-mata merupakan
peristiwa-peristiwa sejarah yang terkait dengan determinisme kealam dan bahwa
fenomena sejarah adalah kejadian-kejadian dalam negara.
Metodologi
sejarah Ibnu Khaldun melihat bahwa kriteria logika tidak sejalan dengan watak
benda-benda empirik, oleh karena epistemologinya adalah observasi. Prinsip ini
merangsang para sejarawan untuk mengorientasikan pemikirannya kepada ekspriment
dan tidak menganggap cukup ekpsriment yang sifatnya individual, tetapi
hendaknya mengambil sejumlah ekperimen, dialah yang pertama berkata sesuai
dengan metodologi sejarah, adanya hubungan antara sejarah dengan ekonomi. Dia
berpendapat bahwa faktor utama dalam revolusi dan perubahan ialah ekonomi.
Ketiga
bahwa beliaulah penggagas ilmu peradaban, atau falsafah sosial. Pokok
bahasannya ialah, kesejahteraan masyarakat manusia dan kesejahteraan sosial.
Ibnu Khaldun memandang ilmu peradaban perdefenisi, ilmu baru luar biasa dan
banyak faedahnya.
Dia
jugalah yang pertama yang mengaitkan antara evolusi masyarakat manusia dari
satu sisi dan sebab yang berkaitan pada sisi lain. Dia mengetahui dengan baik
masalah-masalah penelitian dan laporannya. Laporan penelitian menurutnya
hendaklanya diperkuat oleh dalil-dalil yang meyakinkan, ia telah mengkaji
prilaku manusia dan pengaruh iklim dan berbagai aspek pencarian nafkah beserta
penejelasan pengaruhnya pada konstitusi tubuh manusia dan intelektual manusia
dan masyarakat.
Dalam
perkembangan Islam yang berkaitan dengan ilmu-ilmu kemasyarakatan maka kita
akan dapat melihat berbagai macam karya monumental yang masih tetap berpengaruh
hingga saat ini. Karya-karya tersebut bertujuan untuk menjelaskan Islam dengan
pemahaman yang lebih mendalam, lebih humanis dan lebih universal. Sumbangan
karya tersebut antara lain seperti karya para perawi hadist seperti Bukhori dan
Muslim. Metode seleksi mereka terhadap reputasi sosial mata rantai hadist
dipandang sebagai kajian yang dilakukan dengan pendekatan sosiologis.
Kajian
monumental lainnya muncul dalam bidang fikih. Abu Hanifah di Baghdad adalah orang
yang sangat terkenal dengan istinbat hukum yang bervariasi karena
pengaruh kondisi sosial, masyarakat yang homogen dan faktor lainnya. Selain
beliau ada Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.
Tentang
Abu Hanifah, dalam pendapat hukumnya, ia banyak dipengaruhi oleh perkembangan
sosial yang terjadi di kota Kufah. Kota Kufah terletak jauh dari Madinah
yang banyak merekam aktivitas Nabi dan kaum muslimin di masa awal. Dua faktor,
yakni sedikitnya hadist yang beredar di Kufah dan juga perkembangan sosial
masyaraktnya yang lebih dinamis karena keheterogenan penduduknya, mempengaruhi
cara pengambilan hukum antara Imam Malik di Madinah dengan Abu Hanifah di
Kufah.
4.
Signifikansi Pendekatan Sosiologis Dalam Studi Islam
Pentingnya
pendekatan sosiologis dalam memahami agama dapat difahami karena banyak sekali
ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama
terhadap masalah sosial ini, selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu
sosial sebagai alat untuk memahami agamanya. Jalaluddin Rahmat telah
menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini adalah Islam
terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut:[12]
1.
Dalam Alquran atau Hadist, proporsi terbesar kedua sember
hukum Islam tersebut berkenaan dengan urusan mua’amalah. Menurut Ayatullah
Khomeini perbandingan antara ayat ibadah dengan ayat kehidupan sosial adalah
1:100.
2.
Bahwa ditekankannya masalah mu’amalah atau sosial dalam
masalah Islam adalah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya
dengan urusan mu’amalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau
ditangguhkan.
3. Bahwa ibadah yang
mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang
bersifat perseorangan, karena itu shalat yang dilakukan berjama’ah adalah lebih
tinggi nilainya dari pada shalat yang dikerjakan sendirian.
4. Dalam Islam terdapat
ketentuan bila urusan ibadah tidak dilakukan dengan sempurna, maka kifaratnya
ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
5.
Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang
kemaysarakatan mendapat amalan lebih besar dari pada ibadah sunnah.
Berdasarkan pemahaman kelima alasan diatas, maka melalui
pendekatan sosiologis, agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu
sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya dijumpai
ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya, sebab-sebab
yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa dan sebab-sebab yang
menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu hanya baru dapat dijelaskan
apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada ajaran agama itu
diturukan.[13]
5.
Agama sebagai Gejala Budaya dan
Gejala Sosial
Penjelasan yang bagaimanapun tentang agama, tidak akan
pernah tuntas tanpa menyertakan aspek sosiologisnya. Agama yang menyakut
kepercayaan serta berbagai prakteknya, benar-benar merupakan masalah sosial dan
sampai saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat manusia di mana
kita memiliki catatan, termasuk yang biasa diketengahkan dan ditafsirkan oleh
ahli arkeologi.
Dalam masyarakat yang sudah mapan agama merupakan salah
satu struktur institusional penting yang melengkapi kesluruhan sistem sosial,
akan tetapi masalah agama berbeda dengan masalah hukum, yang lazim menyangkut
alokasi serta pengendalian kekuasaan. Berbeda dengan lembaga ekonomi yang
berkaitan dengan kerja, produksi dan pertukaran dan juga berbeda dengan lembaga
keluarga yang mengatur serta memolakan hubungan antar jenis kelamin, agar
generasi yang diantaranya berkaitan dengan pertalian keturunan serta
kekerabatan.
Thomas F. Odea mengatakan “masalah inti dari agama
tampaknya menyangkut sesuatu yang masih kabur serta tidak dapat diraba, yang
realitas empirisnya sama sekali belum jelas, ia menyangkut dunia luar. Hubungan
manusia dan sikapnya terhadao dunia luar itu dan dengan apa yang dianggap
manusia sebagai implikasi praktis dari dunia luar tersebut terhadap kehidupan
manusia”.
Perbandingan aktivitas agama dengan aktivitas lain, atau
perbandingan lembaga keagamaan dengan lembaga sosial lain, menujukkan bahwa
agama dalam pautannya dengan masalah yang tidak dapat diraba tersebut merupakan
sesuatu yang tidak penting, sesuatu yang sepele dibandingkan dengan masalah
pokok manusia.
Namun kenyataan menunjuk lain, sebenarnya lembaga
keagamaan adalah menyangkut hal yang penting tertentu, menyangkut masalah aspek
kehidupan manusia, yang dapat transedensinya mencakup sesuatu yang mempunyai
arti penting dan menonjol bagi manusia. Bahkan sejarah menunjukkan bahwa
lembaga-lembaga keagamaan merupakan bentuk assosiasi manusia yang paling
mungkin untuk terus bertahan.
Disamping itu, agama telah diceritakan sebagai pemersatu
aspirasi manusia yang paling sublim, sebagai sejumlah sumber moralitas, sumber
tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu sebagai sesutau memuliakan dan
membuat manusia beradab. Tetapi agama juga dituduh sebagai penghambat kemajuan
manusia dan mempertinggi fanatisme dan mempertinggi toleran, pengacuhan,
pengabaian, takhyul dan kesia-siaan.
Catatan sejarah yang ada menunjuk agama sebagai salah
penghambat tatanan sosial yang telah mapan. jika dilihat
dari karateristiknya, jelas agama bukanlah gejala ilmu kealaman yang memiliki
sifat keterulangan seperti halnya air yang selalu mengalir ke bawah. Definisi agama sebagai kepercayaan
akan adanya Yang Maha Kuasa menempatkan agama sebagai sebuah gejala budaya.
Dalam hal ini menurut Atho Mudzhar setidaknya ada lima gejala yang perlu
diperhatikan.[14]
Pertama, scripture berupa naskah-naskah sumber ajaran dan simbol-simbol
agama. Kedua, para penganut, pemimpin, dan pemuka agama, yakni sikap, perilaku
dan penghayatan para pemeluknya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan
ibadat-ibadat. Keempat, alat-alat, seperti masjid, peci, atau semacamnya.
Kelima, organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul
dan berperan. Tetapi agama juga
memperlihatkan kemampuannya melahirkan kecenderungan yang sangat revolusioner,
seperti peristiwa pemberontakan petani, pada abad ke-16 di Jerman. Emile
Durkheim seorang pelopor sosiologi agama di Prancis mengatakan bahwa agama
merupakan sumber semua kebudayaan yang sangat tinggi. Sedangkan Marx mengatakan
bahwa agama adalah candu bagi manusia.[15]
6.
Karya Utama dalam Studi Islam dalam Pendekatan Sosiologis
Dalam
kajian pendekatan sosiologi dalam studi Islam, banyak para penulis baik penulis
dari barat maupun penulis muslim itu sendiri, yang telah menghasilkan karyanya
tentang sosiologi yang ada hubungannya dalam memahami agama. Diantaranya
adalah :
1. Clifford
Geertz . Salah Satu Karyanya The religion of Java, Religion as a
cultural system.
2.
Abu Raihan Muhammad bin
Ahmad al-Biruni al-Khawarizmi. Karyanya
berjudul Tarikh al-Hindi.
3.
Ali Syari’ati telah menulis
beberapa buku, diantaranya : Marxisme and other western Fallacies.
4.
Ibnu Batutah, adapun
karyanya yang berjudul Tuhfah al-Nuzzar fi Ghara’ib al-Amsar wa Ajaib
al-Asfar. Dll.
5.
Ibnu Khaldun, Karya
Besarnya Al-Muqaddimah.
6.
Koentjaraningrat diantara hasil karyanya; masyarakat desa
di Indonesia masa ini, beberapa pokok antropologi sosial dan lain-lain.
7.
August Comte (1798-1857), seorang berkebangsaan Perancis
yang merupakan bapak sosiologi yang pertama kali memberi nama pada ilmu
tersebut yaitu dari kata-kata socius dan logos. Hasil
karyanya adalah; The scienstific labors necessary for the reorganization of
society.
BAB III
KESIMPULAN
Sosiologi
merupakan ilmu yang tergolong masih muda walaupun telah mengalami perkembangan
cukup lama, yaitu sejak manusia mengenal kebudayaan dan peradaban. Dalam kehidupannya, manusia telah banyak menaruh
perhatian dan minat terhadap sosiologi. Suatu keadaan yang terjadi dalam
masyarakat seperti, kejahatan perang, penguasaan golongan yang satu terhadap
golongan lainnya, kepercayaan dan sebagainya. Melalui perhatian tersebut lalu
muncul teori-teori yang berkenaan dengan kemasyarakatan yang kemudian
teori-teori tersebut digunakan utuk mengkaji agama.
Beberapa objek pendekatan sosiologi
yang digunakan oleh para sosiolog ternyata menghasilkan cara unntuk memahami
agama dengan mudah. Selain itu memang menurut beberapa sosiolog dan ahli
metodelogi studi-studi ke-Islaman bahwa agama Islam itu sendiri sangat
mementingkan peranan aspek sosial dalam kehidupan beragama.
Pendekatan sosiologis dalam
kajian-kajian aspek agama Islam sebenarnya bukanlah sebuah tradisi yang
benar-benar baru. Banyak kalangan mengakui bahwa pendekatan ini telah lama
digunakan dalam tradisi intelektual Islam, seperti penelitian para periwayat
hadist yang dilakukan oleh imam-imam Hadist, akan tetapi Ibn Khaldunlah yang
kemudian memakai pendekatan ini dengan metode yang lebih sistematis.
Pendekatan Sosiologi mempunyai
peluang yang sangat besar untuk berkembang dalam lingkup studi Islam. Dengan
begitu kontribusinya kemudian dalam tradisi intelektual Islam tentu saja akan
sangat besar.
DAFTAR
PUSTAKA
Ba-Yunus,
Ilyas dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam: Sebuah Pendekatan, (Terj. Hamid
Ba-Syaib), Bandung: Mizan, 1996.
Mukti
Ali, Abdul, Ibnu Khaldun dan Asal-usul Sosiologi, Yogyakarta:
Yayasan Nida, 1970.
Nata,
Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 2001.
Polak,
Maijor, Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1991.
S,
Josefh, Sosiologi Sebuah Pengenalan, (Terj. Sahat Simamora), Jakarta: Bina
Aksara, 1984.
Rakhmat,
Jalaluddin, Islam Alternatif, Bandung: Mizan, 1986.
Steven
K. Sanderson, Sosiologi Makro, (Terj. Sahat Simamora), Jakarta : Bina Aksara,
1984.
Stepen
K. Sanderson, Sosiologi Makro, Edisi Indonesia, (Terj. Hotman M. Siahaan,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Syani,
Abdul, Sosiologi Dan Perubahan Masyarakat, Lampung: Pustaka Jaya, 1995.
Tim
MGMP, Sosiologi SUMUT, Medan: Kurnia, 1999.
Thomas
F. O’dea, The Sosiology of Religion, (Terj. Tim Yosogama), Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995.
[1] Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2001), h. 39
[2]
Abdul
Syani, Sosiologi Dan Perubahan Masyarakat, (Lampung: Pustaka
Jaya, 1995), h. 2.
[3]
Tim
MGMP, Sosiologi SUMUT, (Medan: Kurnia, 1999), h. 3.
[4]
Steven
K. Sanderson, Sosiologi Makro, Terj. Sahat Simamora, (Jakarta : Bina
Aksara, 1984), h. 253.
[5]
Stepen K. Sanderson, Sosiologi
Makro, Edisi Indonesia, Ter. Hotman M. Siahaan, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995), h. 2.
[6] Maijor
Polak, Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1991), h. 7.
[7]
Josefh
S, Sosiologi Sebuah Pengenalan, terj. Sahat Simamora, (Jakarta: Bina
Aksara, 1984), h. 22.
[8] Ilyas
Ba-Yunus dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam: Sebuah Pendekatan, terj.
Hamid Ba-Syaib, (Bandung: Mizan, 1996), h. 20-24.
[11]
Abdul
Mukti Ali, Ibnu Khaldun dan Asal-usul Sosiologi, (Yogyakarta: Yayasan
Nida, 1970), h. 12.
[12]
Jalaluddin
Rakhmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1986) h. 48.
[14]
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam…, hlm. 14.
[15]
Thomas F. O’dea, The
Sosiology of Religion, Terj. Tim Yosogama, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995), h. 2
Posting Komentar