Konsep Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
KH.
M. Hasyim Asy’ari adalah salah seorang pendiri lembaga peasantren di semping
sebagai tokoh yang memiliki pemikiran di berbagai disiplin, diantaranya
teologi, tasawuf, fiqh, dan kependidikan. Bahkan, masyarakat Indonesia agaknya
lebih mendukung beliau sebagai tokoh awal yang membuat mata rantai
trasionalisme di Indonesia, gara-gara dia meletakkan kerangka dasar pendirian
Nahdlatul Ulama’, seuah organisasi sosial keagamaan yang saat ini terbesar di
Indonesia.
KH.
M. Hasyim Asy’ari telah menyediakan sebuah risalah kependidikan secara
khusus,yakni kitab Adab al-alim wa al-muta’allim fi ma yahtaj ilaih
al-muta’allim fi ahwal ta’limihi wa ma yatawaqaf ‘alaih al-muta’allim fi
maqamat ta’limihi. Oleh karena itu, pada penulisan makalah ini akan terfokus
pada konsep pendidikan KH. Hasyim Asy’ari pada buku tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
risalah hidup KH. M. Hasyim Asy’ari ?
2.
Bagaimanakah
konsep pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari?
C.
Tujuan Penulisan
3.
Untuk
menjelaskan risalah hidup KH. M. Hasyim Asy’ari.
4.
Untuk
menjelaskan konsep pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup
KH. M. Hasyim Asy’ari
1.
Biografi.
Nama
lengkap KH. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd al-Wahid ibn
‘Abd al-Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abdur ar-Rohman yang
dikenal dengan Jaka Tingkir, Sultan Hadiwijaya ibn Abdullah Ibn Abdul Aziz ibn
Abd al-Fatih ibn Maulana Ishaq dari Raden Ainul Yaqin disebut Sunan Giri. Ia
lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur pada hari Selasa
kliwon 24 Dzulqa’dah 1287 H. bertepatan pada tanggal 14 Februari 1871. KH.
Hasyim Asy’ari wafat pada tanggal 25 Juli 1947 pukul 03.45 dini hari bertepatan
dengan tanggal 7 Ramadhan tahun 1366 dalam usia 79 tahun.[1]
Pada masa
muda KH. Hasyim Asy’ari, ada dua sistem pendidikan bagi penduduk pribumi
Indonesia, Pertama adalah sistem pendidikan uyang disediakan untuk para santri
muslim di pesantren yang focus pengejarannya adalah ilmu agama. Kedua adalah
sistem pendidikan barat yang dikenalkan oleh kolonial Belanda dengan tujuan
menyiapkan para siswa untuk menempati posisi-posisi administrasi pemerintahan
baik tingkat rendah maupun menengah.[2]
Semasa
hidupnya, KH. Hasyim Asy’ari mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, Abd al-Wahid,
terutama pendidikan di bidang Al-qur’an dan penguasaan beberapa literature
keagamaan.Setelah itu ia pergi untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok
pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shona, Siwalan Baduran, Langitan
Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo. Setelah menimba ilmu di pondok
pesantren Sidoarjo, ternyata KH. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus
melanjutkan studinya. Ia berguru kepada KH. Ya’kub yang merupakan kyai di
pesantren tersebut. Kyai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan
KH. Hasyim Asy’ari sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya,
Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun.
Setelah
menikah, KH. Hasyim Asy’ari bersama istrinya Segera melakukan ibadah haji.
Sekembalinya dari tanah suci, mertuanya menganjurkannya untuk menuntut ilmu di
Makkah. Menuntut ilmu di kota mekkah sangat diidam-idamkan oleh kalangan santri
saat itu, terutama dikalangan santri yang berasal dari Jawa, Madura,Sumatera
dan kalimantan. Secara struktur sosial, seseorang yang mengikuti pendidikan di
Makkah biasanya mendapat tempat lebih terhormat dibanding dengan orang yang
belum pernah bermukim di Makkah, meski pengalaman kependidikannya masih
dipertanyakan.
Dalam
perjalanan pencarian ilmu pengetahuan di Makkah, KH.Hasyim Asy’ari bertemu
dengan beberapa tokoh yang kemudian dijadikannya sebagai guru-gurunya dalam
berbagai disiplin. Diantara guru-gurunya di Makkah yang terkenal adalah sebagai
berikut. Pertama, Syaikh Mahfudh al-Tarmisi, seorang putera kyai Abdullah yang
memimpin pesantren Tremas. Dikalangan kyai di Jawa, Syeikh mahfudh dikenal
sebagai seorang ahli Hadist Bukhari. Kedua, Syaikh Ahmad Khatib dari
Minangkabau. Syaikh Ahmad Khatib menjadi ulama bahkan sebagai guru besar yang
cukup terkenal di Makkah, di samping menjadi salah seorang imam di Masjid al-Haram untuk para penganut Mazhab
Syafi’i. Ketiga, KH. Hasyim Asy’ari berguru kepada sejumlah tokoh di Makkah,
yakni Syaikh al-Allamah Abdul Hamid al-Darutsani dan Syaikh Muhammad Syuaib
al-Maghribi. Selain iyu, ia berguru kepada Syaikh Ahmad Amin al-Athar, Sayyid
Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan al-Attar, Syaikh Sayid Yamay, Sayyid
Alawi ibn Ahmad as-Saqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawy,
Syaikh Shaleh Bafadhal dan Syaikh Sultan Hasyim Dagatsani.[3]
Diantara
ilmu-ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh KH M. Hasyim Asy’ari selama di
Makkah, adalah Fiqh, dengan konsentrasi mazhab Syafi’i, ulum al-Hadist, tauhid,
tafsir, tasawuf, dan ilmu alat (nahwu,
sharaf, mantiq, balaghah dan lain-lain).
Dari beberapa disiplin ilmu itu, yang
menarik perhatian beliau adalah disiplin hadist imam Muslim. Hal ini didasarkan
pada asumsi yang menyatakan bahwa untuk mendalami ilmu hukum Islam, disamping
mempelajari al-Qur’an dan tafsirnya secara mendalam, juga harus memiliki
pengetahuan yang cukup baik mengenai hadis dengan syarh dan hasyiyah-nya. Untuk
itulah, disiplimn hadist menjadi yang sangat penting untuk dipelajari.
Perjalanan
intelektal KH. Hasyim Asy’ari di Makkah berlangsung selama 7 tahun. Masa ini
tampaknya telah membuat beliau memiliki kecakapan-kecakapan sendiri, terutama
dalam pengetahuan keagamaan. Oleh karena itu, pada tahun 1900 M, beliau pulang
kampung halamannya. Dalam catatan Zamarkhsyi Dhofier, setelah beberapa bulan
kembali ke Jawa, beliau mengajar di pesantren Gedang, sebuah pesantren yang
didirikan oleh kakeknya KH. Usman. Setelah mengajar di pesantren ini, ia
membawa 28 orang santri untuk mendirikan pesantren baru dengan seizin kyainya.
Dengan
dukungan itulah, diantaranya KH. Hasyim Asy’ari berpindah tempat dengan memilih
daerah yang penuh tantangan yang dikenal dengan daerah ”hitam”. Tepat pada
tanggal 26Rabiul Awwal 1320 H. Bertepatan dengan 6 Februari 1906 M, KH Hasyim
Asy’ari mendirikan pondok pesantren Tebuireng. Di pesantren inilah banyak
melakukan aktivitas-akivitas sosial-kemanusiaan sehingga ia tidak hanya
berperan sebagai pimpinan pesantren secara formal, tetapi juga pemimpin
kemasyarakan secara informal.
Sebagai
pemimpin pesantren, beliau melakukan pengembangan instiusi pesantrenya, termask
mengadakan pembaharuan sistem dan kurikulum. Jika pada saat itu pesantren hanya
mengembangkan sistem halaqah, maka beliau mmperkenalkan sistem belajar madrasah
dan memasukkan kurikulum pendidikan umum, disamping pendidikan keagamaan.
Aktifitas
KH. Hasyim Asy’ari di bidang sosial yang lain adalah mendirikan organisasi
Nahdhaul Ulama, bersama dengan ulama besar lainnya, seperti Syaikh Abdul Wahab
da Syaikh Bishri Syansuri, pada tanggal 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H.
Organisasi yang didirkannya ini memiliki tujuan untuk memperkokoh pengetahuan
keagamaan di kalangan masyarakat, sebagaimana termaktub dalam Statuten
Perkoempoelan Nahdlatoul-’Oelama,;. Fatsal 2.Adapoen maksoed perkoempoelan ini
jaitoe:”memegang dengan tegoeh pada salah satoe dari mazhabnja Imam empat,
jaitoe Imam Moehammad bin Idris asj-Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboe
Hanifah an-Noeman, atau Imam bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang
mendjadikan kemaslahatan Agama Islam”.
Organisasi
Nahdlatul Ulama’ ini didukung oleh para ulama, terutama ulama Jawa dan
komunitas pesantren. Memang pada awalnya, organisasi ini dikembangkan untuk
meresponi wacana negara khilafah dan gerakan purifikasi yang dimotori oleh
Rasyid Ridla di Mesir. Akan tetapi, pada perkembangannya kemudian organisasi
itu melakukan rekontruksi social keagamaan yang lebih umum. Dewasa ini,
Nahdlatul Ulama berkembang menjadi organisasi sosial keagamaan terbesar di
Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari wafat pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H di kediaman
beliau, yaiu Tebuireng Jombang, dan dimakamkan di Pesantren yang beliau bangun.[4]
2. Karya
tulis KH. Hasyim Asy’ari
Sebagai
seorang intelektual, KH Hasyim Asy’ari telah menyumbangkan banyak hal yang
berharga bagi pengembangan peradaban , diantaranya adalah sejumlah literatur
keagamaan dan sosial. Karya-karya tulis KH. Hasyim Asy’ari yang terkenal adalah
sebagai berikut:
a. Adab
al-alim wa al-muta’allim, yang menjelaskan tentang pelbagai hal yang berkaitan
dengan etika orang yang menuntut ilmu dan seorang guru.
b. Ziyadat
Ta’liqat, sebuah tanggapan atas pendapat Syaikh Abdullah bin Yasin Pasuruan
yang berbeda pendapat tentang NU.
c. At
Tanbihat al Wajibat Liman Yasna’ul al
Maulid bi al Munkarat, yang menjelaskan tentang orang-orang yang mengadakan
perayaan maulid nabi dengan kemungkaran.
d. Ar
Risalah al Jami’ah, menjelaskan tentang keadaan orang yang meninggal dunia,
tanda-tanda kiamat, serta ulasan tentang sunnah dan bid’ah.
e. Annur
al Mubin fi Mahabbati Sayyid al Mursalin, menjelaskan tentang cinta kepada
Rasul dan hal-hal yang berhubungan dengannya, menjadi pengikutnya dan
menghidupkan tradisinya.
f.
Ad Durar al
Muntasirah fi al masail at Tis’a ’Asyarata, menjelaskan tentang persoalan
tarekat, wali, dan hal-ha; penting lainnya yang terkait dengan keduanya atau
pengikut tarekat.[5]
Dan banyak karya-karya tulis lainya yang telah dibuat oleh KH Hasyim Asy’ari.
B.
Deskripsi
Pemikiran Kependidikan KH.Hasyim Asy’ari
1. Kelebihan
ilmu dan ilmuwan.
Tujuan
utama ilmu pengetahuan yang sesungguhnya adalah mengamalkan ilmu dalam tingkat
lebih praktis, yakni dengan memanifestasikan dalam bentuk perbuatan.
Perbuatan-perbuatan yang didasarkan atas ilmu pengetahuan akan memberi
kemnfaatan tersendiri yang menjadi bekal dalam kehidupan di akhirat. Mengingat
hal ini, syariat Islam mewajibkan umat Islam, dengan tidak membedakan jenis
kelamin untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Menurut KH Hasyim Asy’ari dalam menuntut ilmu itu perlu diperhatikan dua hal,
yakni: Pertama, Bagi murid hendaknya memiliki niat yang suci dan luhur, yakni
semata-mata menuntut ilmu. Kedua, sebagaimana bagi murid, demikian juga bagi
seorang guru/ulama yang mengajarkan ilmu hendaknya mempunyai niat yang lurus,
tidak mengharapkan materi semata-mata. Selain itu, guru hendaknya menyesuaikan
antara perkataan dengan perbuatan.
Mengenai
kelebihan ilmuwan dengan orang awam, itu bagaikan bulan purnama dan cahaya
bintang oleh karena itu, siapa saja yang mengusahakan mencari ilmu pengetahuan
maka ia akan ditinggikan derajatnya.[6]
2. Tugas
dan tanggung jawab peserta didik
a. Etika
yang harus dicamkan dalam diri peserta didik
Untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, ada sepuluh tuntunan etika yang
perlu diperhatikan oleh peserta didik. Tuntunan itu adalah (1) membersihkan
hati dari berbagai gangguan material keduniaan dan hal-hal yang merusak sistem
kepercayaan; (2) membersihkan niat, dengan cara meyakini bahwa menunut ilmu
hanya didedikasikan kepada Allah swt semata; (3) mempergunkan kesempatan
belajar (waktu)dengan sebaiknya;(4) merasa cukup dengan apa yang ada dan
menggunakan segala sesuatu yang lebih muda sehingga tidak merasa sulit; (5)
pandai mengatur waktu; (6) tidak berlebihan dalam makan dan minum; (7) berusaha
menjaga diri (wara’); (8) menghindarkan makan dan minum yang menyebabkan
kemalasan dan kebodohan; (9) menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak
kesehatan; (10) meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah.[7]
b. Etika
seorang peserta didik terhadap Pendidik/guru
Menurut
KH. Hasyim Asy’ari paling tidak ada 12 etika yang perlu dilakukan, yakni: (1)
melakukan perenungan dan meminta petunjuk kepada Allah swt dalam memilih guru;
(2) belajar sungguh-sungguh dengan menemui pendidik secara langsung, tidak
hanya melalui tulisan-tulisannya semata; (3) mengikuti guru, terutama dalam
kecerundungan pemikiran; (4) memuliakan guru; (5) memperhatikan hal-hal yang
menjadi hak pendidik; (6) bersabar terhadap kekerasan pendidik; (7) berkunjung
kepada guru pada tempatnya atau meminta izin terlebih dahulu; (8) menempati
posisi duduk dengan rapih dan sopan bila berhadapan dengannya; (9) berbicara
dengan halus dan lemah lembut; (10) menghafal dan memperhatikan fatwa hukum,
nasihat, kisah, dari para guru; (11) jangan sekali-kali menyela ketika guru
belum selesai menjelaskan; (12) menggunakan anggota badan yang kanan bila
menyerahkan sesuatu kepada pendidik.[8]
c. Etika
Peserta didik tehadap Pelajaran
Dalam
pelajaran peserta didik hendaknya memperhatikan etika berikut; (1) mendahulukan
ilmu yang bersifat Fardhu ain dari pada ilmu-ilmu yang lain;(2) harus
mempelajari ilmu pendukung ilmu fardhu ’ain; (3) hati-hati dalam menanggapi
ikhtilaf para ulama’; (4) mengulang dan menghafal bacaan-bacaan (menyetorkan)
hasil bejalar kepada orang yang dipercayainya; (5) senantiasa menyimak dan
menganalisa ilmu-ilmu pengetahuan, terutama ilmu hadist dan ilmu ushul Fiqh;
(6) merencanakan cita-cita yang tinggi; (7) bergaul dengan guru dan teman,
lebih-lebih kepada orang yang berilmu tinggi dan pintar; (8) mengucapkan salam
bila sampai di majlis ta’lim/sekolah/madrasah;(9) bila menjumpai hal-hal yang
belum dipahami maka hendaknya ditanyakan; (10) bila kebetulan bersamaan dengan
banyak teman dengan kepentingan yang sama atau hendak menanyakan persoalan yang
sama maka sebakiknya jangan mendahului anrtrian kecuali ada izin; (11)
kemanapun kita pergi dan dimanapun kita berada jangan lupa membawa catatan;
(12) mempelajari pelajaran yang telah diajarkan dengan kontinyu/istiqomah dan
(13) menanamkan rasa antusias dan semangat untuk belajar.[9]
3. Tugas
dan tanggung jawab Pendidik
a. Etika
Pendidik terhadap dirinya
KH. M. Hasyim Asy’ari memberikan catatan bagi
seorang pendidik agar dirinya tertanam atika-etika sebagai berikut; (1)
beruasaha sekuat tenaga untuk mendekatkan diri kepada Allah; (2) senaniasa
takut kepada Allah; (3) bersikap tenang; (4) berhati-hati (wara’); (5) tidak
mempunyai sikap tinggi hati tetapi tawadhu’; (6) konsentrasi(khusyu’); (7)
mengadukan segala persoalannya kepada Allah swt; (8) tidak menggunakan ilmunya
untuk meraih kepentingan duniawi semata; (9) tidak terlalu memanjakan anak
didik; (10) membiasakan pola zuhud dalam kehidupan sehari-hari; (11)
menghindari tempat-tempat bermaksiat; (12) menjauhi tempat-tempat yang
mengurangi martabat guru; (13) memberi perhatian terhadap peradaban Islam dan
realisasi syari’at; (14) mengamalkan sunnah nabi; (15) menjaga
kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti membaca al-Qur’an; (16) bersikap ramah,
ceria dan suka memberi ucapan selamat (Salam); (17) membersihkan diri dari
perbuatan-perbuatan yang tidak disukai Allah; (18) menumbuhkan semangat untuk
menambah ilmu pengetahuan; (19) tidak menyalahgunakan ilmu dengan cara
menyombongkannya; (20) membiasakan diri menulis, mengarang, meringkas.[10]
b. Etika
Pendidik terhadap Pelajaran
Seorang
pendidik hendaknya memperhatikan etka-etika yang berkaitan dengan pelajaran.
Diantara etika dalam konteks itu, menurut KH. M. Hasyim Asy’ari adala sebagai
berikut; (1) mensucikan diri dari hadast dan kotoran; (2) menggunakan pakaian
yang sopan, rapih dan usahakan memakai wangi-wangian; (3) ketika mengajarkan
ilmu kepada peserta didik hendaknya berniat untuk beribadah; (4) menyampakan
hal-hal yang diajarkan oleh Allah; (5) membiasakan membaca guna menambah ilmu
pengetahuan; (6) memberi salam ketika masuk dalam ruangan; (7) bila mulai
mengajar berdoalah terlebih dahulu untuk para ahli ilmu terdahulu; (8)
berpenampilan yang kalem dan menjauhi hal-hal yang tidak pantas dipandang mata;
(9) mengusahakan untuk menjauhkan diri dari bergurau dan banyak ketawa; (10)
jangan sekali-kali mengajar ketika keadaan lapar, marah, mengantuk dan
sebagainya; (11) pada waktu mengajar, hendaknya duduk di tempat yang strategis;
(12) usahakan agar tampilannya ramah, lemah lembut, jelas, dan lugas serta
tidak sombong; (13)dalam mengajar hendaknya mendahulukan materi yang paling
penting dan sesuaikan dengan profesi yang dimiliki; (14) jangan sekali-kali
mengajarkan hal-hal yang subhat yang bisa membinasakan; (15) memberi perhatian
terhadap kemampuan masing-masing murid dalam mengajar dan mengajarnya itu tidak
terlalu lama; (16) menciptakan ketenangan ruang belajar; (17) menasehati dan
menegur dengan bak bila ada peserta didik yang bandel; (18) bersikaplah terbuka
terhadapa berbagai macam persoalan yang ditemukan; (19) berilah kesempatan
kepada peserta didik yang datangnya terlambat dan ulangilah penjelasannya agar
tahu apa yang dimaksud; (20) bila sudah selesai berilah kesempatan kepada peserta
didik untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas/belum dipahami.[11]
4. Etika
Pendidik terhadap Peserta didik
Diantara
etika pendidik terhadap peserta didik adalah sebagai berikut; (1)berniat
mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syari’at Islam;
(2) guru hendaknya memiliki keihlasan dalam mengajar; (3) mencintai peserta
didik sebagaimana mencinta dirinya sendiri; (4) memberi kemudahan dalam
mengajar dan menggunakan kata-kata yang dapat dipahami; (5) membangkitkan
semangat peseta didik dengan jalan memotivasinya; (6) memberkan latihan-latihan
yang bersifat membantu; (7) selalu memperhatikan kemampuan anak didik; (8)
tidak menampakkan kelebihan sebagian peserta didik terhadap peserta didik yang
lain; (9) mengerahkan minat anak didik; (10) bersikap terbuka dan lapang dada
kepada peserta didik; (11) membantu memecahkan kesulitan anak didik; (12) bila
ada anak didik yang berhalangan hadar hendaknya menanyakan hal itu kepada
teman-temannya; (13) Tunjukkan sikap arif dan tawadhu’ ketika memberi bimbingan
kepada peserta didik; (14) menghormati peserta didik dengan memanggil namanya
yang baik.[12]
5. Etika
Pendidik dan Peseta didik terhadap Buku
Sebagai
seorang pendidik atau peserta didik yang senantiasa bergelut dengan buku,
hendaknya memperhatikan hal-hal berikut; (1) mengusahakan untuk mendapatkan
buku-buku yang dibutuhkan; (2) mengizinkan bila ada kawan meminjam buku, bagi
peminjam harus menjaga pinjamannya itu; (3) jira tulisan itu rusak atau tidak
dipakai hendaknya tidak sembarangan
membuang tulisan itu, tetapi meletakkannya pada tempat yang layak dan
terhormat; (4) memeriksa terlebih dahulu bila membeli atau meminjam buku ,
khawatir ada yang kurang lembaranny; (5) bila menyalin buku pelajaran syari’ah
hendaknya bersuci terlebih dahulu, menghadap kiblat, memakai pakian yang bersih
dan wangi, dan mengawalinya dengan tulisan basmalah. Bila yang disalinnya
adalah buku-buku nasehat atau semacamnya, maka mulailah dengan Hamdalah
(pepujian) dan shalawat nabi setelah menulih bismillah terlebih dahulu.[13]
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan.
Nama
lengkap KH. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd al-Wahid ibn
‘Abd al-Halim. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur
pada hari Selasa kliwon 24 Dzulqa’dah 1287 H. bertepatan pada tanggal 14
Februari 1871. KH. Hasyim Asy’ari wafat pada tanggal 25 Juli 1947 pukul 03.45
dini hari bertepatan dengan tanggal 7 Ramadhan tahun 1366 dalam usia 79 tahun.
Konsep
Pendidikan beliau yang terdapat dalam kitab Adab al-alim wa al muta’allim
berisi tentang, Kelebihan ilmu dan ilmuwan, etika yang harus dicamkan dalam
diri peserta didik, etika seorang peseta didik terhadap pendidik, etika seorang
peseta didik terhadap pelajaran, etika pendidik terhadap dirinya, etika
pendidik terhadap pelajaran, etika pendidik terhadap peserta didik, etika
pendidik dan peserta didik terhadap buku.
- Saran dan Harapan
ü Bagi
Pendidik
Dengan
mengetahui konsep pendidikan yang ditulis oleh KH. Hasyim Asi’ari, guru dapat
menyampaikan materi dengan baik dan benar serta dengan atika yang sesuai bagi
seorang guru sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
ü Bagi
Siswa
Konsep
Pendidikan yang ditawarkan KH. Hasyim Asyari yang terdapat dalam buku Adab
al-alim wa al-muta’allim fi ma yahtaj ilaih al-muta’allim fi ahwal ta’limihi wa
ma yatawaqaf ‘alaih al-muta’allim fi maqamat ta’limihi telah memberikan
petunjuk bagi seorang guru dan murid. Dengan adanya buku tersebut dapat
dijadikan pedoman siswa bagaimana etika seorang murid dalam menuntut ilmu Allah
sehingga mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
DAFTAR PUSTKA
M.Ag, Suwendi,
2005, Konsep Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari, Jakarta: LeKDis
Khuluq, Drs.
Lathiful, 2008, Fajar Kebangunan Ulama-Biografi KH. Hasyim Asy’ari, Jogjakarta:
PT. LkiS Pelangi Aksara, cet. Ke-III
Bakar Atjeh,
Abu, 1975, Sejarah Hidup KH A Wahid Hasyim dan Karang Tersiar, Jakarta: Panitia
Buku Peringatan KHA Wahid Hasyim
Asy’ari, KH.M.
Hasyim, 2003, Menjadi Orang Pinter dan Bener (Adab al-Alim wa al-Muta’alim),
Yogyakarta: CV. Qalam, cet. pertama
[1] Suwendi, M.Ag. Konsep Pendidikan
KH. Hasyim Asy’ari. (Jakarta: LeKDis, 2005) hlm. 13
[2] Drs. Lathiful Khuluq, Fajar
Kebangunan Ulama-Biografi KH. Hasyim Asy’ari, cet. Ke-III (Jogjakarta: PT. LkiS
Pelangi Aksara, 2008), hlm. 26
[3] H. Abu Bakar Atjeh, Sejarah Hidup
KH A Wahid Hasyim dan Karang Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan KHA
Wahid Hasyim, 1975), hlm. 35
[4] KH.M. Hasyim Asy’ari, Menjadi
Orang Pinter dan Bener (Adab al-Alim wa al-Muta’alim), cet. pertama
(Yogyakarta: CV. Qalam, 2003), hlm. xiv
[5] Ibid, hlm. xii
[6] Ibid,
hlm. 46
[7] Ibid,
hlm. 47
[8] Ibid,
hlm. 48
[9] Ibid,
hlm. 49
[10] Ibid,
hlm. 51
[11] Ibid,
hlm. 53
[12]
Ibid,
hlm. 54
[13] Ibid,
hlm. 55
Posting Komentar